Sejak kecil aku ingin menjadi seorang ahli gizi dan kesehatan. Aku ingin
hidup bahagia dan bisa membahagiakan orang lain, terlebih orang tuaku. Tapi,
ayah menginginkan aku untuk menjadi seorang guru, begitupun ibu. Pernah suatu
kali ayah memintaku untuk melanjutkan kuliah ke jurusan kependidikan. Namun
karena aku tak minat untuk menjadi seorang guru, maka aku mengatakan pada ayah
bahwa sebenarnya aku ingin menekuni dunia kesehatan. Ayah tak merespon baik
keinginanku waktu itu. Bahkan, beliau sempat menentang impianku. Kami sempat
berbeda pendapat, bisa dikatakan dalam waktu yang agak lama. Sampai akhirnya
ketika masalah itu, masalah besar yang menimpa keluargaku datang. Aku mulai memikirkannya…
Masa-masa sulit yang kuhadapi
bersama keluargaku datang bersamaan dengan kelulusan SMA dan ujian masuk
Perguruan Tinggi. Saat itulah aku memutuskan untuk mengorbankan mimpiku untuk
kebahagiaan orang tuaku, terutama ayah. Lama sekali aku bergulat dengan hatiku
waktu itu, di setiap sujud di tahajudku aku selalu menitikkan airmata memohon
kepada Allah semoga keputusanku nanti bisa membahagiakan mereka. Aku masih
sering menemui diriku sendiri menangis di kamar. Berat rasanya melepas apa yang
kita impikan sejak lama, meskipun itu untuk orang yang kita cintai. Namun di
sisi lain, aku takut, takut sekali… jika waktu telah menjemput ayah pergi, dan
aku belum bisa membahagiakan beliau atau menuruti keinginan beliau untuk
menjadi seorang guru. Atau sebaliknya, ketika aku, yang harus pergi dulu, namun
aku belum bisa memberikan yang terbaik untuk orang tuaku, maka aku akan sangat
menyesal.
Hari ujian masuk Perguruan Tinggi dilaksanakan pun tiba. Aku berangkat
menuju tempat ujian selama hampir satu jam perjalanan. Ruangan yang akan aku
tempati berada di gedung FISIPOL, terpisah dengan beberapa teman SMA-ku yang
lain. Di ruang BU-201, di ruang itu ketika semua peserta ujian yang lain
berharap diterima di universitas yang mereka inginkan, aku malah berharap aku
tidak diterima di universitas, bahkan di jurusan yang sudah lama aku inginkan
dan telah aku beri tanda dengan pensil di lembar jawabku.
Beberapa hari kemudian, tepatnya saat pengumuman hasil masuk Perguruan
Tinggi, aku membuka hasilnya lewat internet. Dan ternyata apa yang aku inginkan
benar-benar terjadi, aku tidak diterima. Di beberapa jejaring sosial yang
kubuka bersamaan dengan melihat pengumuman itu, teman-temanku ramai
membicarakan apakah mereka diterima atau tidak. Mereka yang tidak diterima di
Perguruan Tinggi Negeri yang mereka inginkan, sepertinya merasakan kekecewaan
yang sangat dalam. Aku memang tidak sendiri, ada banyak orang yang juga tidak
diterima. Tapi entah, mengapa aku tak merasakan kaget, bahkan penyesalan.
Layaknya ketika sudah tahu apa yang akan terjadi, maka akupun sudah siap untuk
menerimanya, sama sekali tak kaget.
Akhirnya aku memutuskan untuk masuk di Perguruan Tinggi Swasta terbaik di
kotaku waktu itu. Aku memilih jurusan
Pendidikan Bahasa Inggris sesuai
keinginan ayah, dan hanya itu jurusan yang aku pilih, aku tidak punya
pilihan yang lain. Aku mendaftar tanpa test. Dan beberapa hari kemudian, aku
melihat pengumumannya lewat internet. Aku diterima. Aku kemudian menghambur
kearah ayah.
“Yah, aku
diterima di Pendidikan Bahasa inggris. Tahukah ayah? Aku akan menjadi seorang
guru, seperti yang ayah inginkan.”, kataku padanya. Ayah tersenyum. Sungguh,
senyum ayah waktu itu seperti oase sejuk di tengah panasnya gurun, dan juga di
tengah panasnya masalah yang sedang menimpa keluarga kami.
Suatu hari ayah pernah mengajakku berbicara. Hanya berdua, hanya aku dan
ayah. Beliau menatapku sambil tersenyum.
“Tahukah kamu,
Dek? Ayah bangga padamu. Dalam kesulitan keluarga kita kamu tak pernah menuntut
apapun dari ayah. Jadikan masalah
keluarga kita untuk membuatmu belajar dan menjadi lebih dewasa. Kalau ayah
datang ke sekolahmu, ayah selalu ingat padamu. Ayah kasihan sekaligus kagum
padamu. Melihat orangtua teman-temanmu yang orang kaya, pasti teman-temanmu
menjalani hidupnya dengan serba mudah. Sedangkan kamu menjalani masa-masa sulit
bersama ayah. Kamu sekarang baru benar-benar ditempa, Sayang. Maafkan ayah yang
belum bisa memberikan apa-apa yang kamu inginkan seperti yang orangtua
teman-temanmu berikan pada teman-temanmu. Ayah kagum padamu karena sekalipun
kita sedang dalam masa-masa sulit, kamu selalu tersenyum. Kamu memang telah
menjadi wanita yang kuat, anakku.”
Aku tersenyum
mendengar kata-kata ayah. Aku tak percaya akhirnya ayah mengatakan itu padaku.
Aku boleh jadi masih sering
sedih dan menangis karena untuk mempertahankan mimpiku sendiripun aku tak bisa,
dan untuk mewujudkannya pun aku tak mampu. Tapi rasa cinta dan sayangku pada
ayah mengalahkan segalanya. Seperti layaknya berberapa sobekan kertas yang kita
pegang. Apabila, kita telah memutuskan untuk memegang satu kertas dan
menjatuhkan kertas yang lain. Maka kita harus fokus pada kertas yang kita
pegang dan meninggalkan kertas-ketas yang telah kita jatuhkan. Seperti itulah
hidup, kita punya banyak pilihan. Ketika kita sudah memilih satu di antaranya,
maka kita harus fokus pada apa yang kita pilih. Bukan berarti bahwa pilihan
yang kita tinggalkan jelek, tapi kita telah menjatuhkan hidup kita pada pilihan
yang terbaik. Jadi jangan biarkan pilihan yang lain mengganggu hidup kita.
Seperti yang telah aku katakan
sebelumnya, aku ingin hidup bahagia dan membahagiakan orang lain. Aku bisa saja
memilih untuk bahagia, dengan tetap menggenggam mimpiku. Tapi aku hanya akan
menjadi seorang anak yang egois karena aku hanya memikirkan keiginananku
sendiri tanpa memikirkan kebahagiaan orangtuaku. Mungkin sekarang aku belum
sepenuhnya bahagia dengan pilihanku, tapi setidaknya aku telah melakukan
setengahnya, membahagiakan orangtuaku. Dan aku berharap Allah memberikan
setengahnya lagi, kebahagiaanku sendiri sehingga kehidupanku akan menjadi
bahagia seutuhnya.
Mungkin itu jugalah yang disebut pengorbanan ketika aku harus
meninggalkan suatu kebaikan untuk kebaikan yang lain. Meninggalkan mimpiku
untuk mimpiku yang lain, yang lebih mulia, yaitu membahagiakan kedua
orangtuaku.
Di balik laki-laki yang sukses
pasti ada wanita hebat di belakangnya. Apakah kalian pernah mendengar
kata-kata itu? Aku juga punya kata-kata yang tak kalah keren dengan kata-kata
tersebut. Di balik wanita yang hebat
pasti ada laki-laki yang menghebatkanya dan membuatnya jadi lebih kuat.
Tahukah kalian siapakah laki-laki hebat yang telah menguatkan hatiku?
Yaa… dia adalah ayahku.
***
the end
pengen nangis bacanya, keren abanget sumpah, maaf baru sempet baca sekarang.
ReplyDelete