Sunday, May 27, 2012

Anakku, jadilah wanita yang kuat #3



Sejak kecil aku ingin menjadi seorang ahli gizi dan kesehatan. Aku ingin hidup bahagia dan bisa membahagiakan orang lain, terlebih orang tuaku. Tapi, ayah menginginkan aku untuk menjadi seorang guru, begitupun ibu. Pernah suatu kali ayah memintaku untuk melanjutkan kuliah ke jurusan kependidikan. Namun karena aku tak minat untuk menjadi seorang guru, maka aku mengatakan pada ayah bahwa sebenarnya aku ingin menekuni dunia kesehatan. Ayah tak merespon baik keinginanku waktu itu. Bahkan, beliau sempat menentang impianku. Kami sempat berbeda pendapat, bisa dikatakan dalam waktu yang agak lama. Sampai akhirnya ketika masalah itu, masalah besar yang menimpa keluargaku datang.  Aku mulai memikirkannya…
 Masa-masa sulit yang kuhadapi bersama keluargaku datang bersamaan dengan kelulusan SMA dan ujian masuk Perguruan Tinggi. Saat itulah aku memutuskan untuk mengorbankan mimpiku untuk kebahagiaan orang tuaku, terutama ayah. Lama sekali aku bergulat dengan hatiku waktu itu, di setiap sujud di tahajudku aku selalu menitikkan airmata memohon kepada Allah semoga keputusanku nanti bisa membahagiakan mereka. Aku masih sering menemui diriku sendiri menangis di kamar. Berat rasanya melepas apa yang kita impikan sejak lama, meskipun itu untuk orang yang kita cintai. Namun di sisi lain, aku takut, takut sekali… jika waktu telah menjemput ayah pergi, dan aku belum bisa membahagiakan beliau atau menuruti keinginan beliau untuk menjadi seorang guru. Atau sebaliknya, ketika aku, yang harus pergi dulu, namun aku belum bisa memberikan yang terbaik untuk orang tuaku, maka aku akan sangat menyesal.
Hari ujian masuk Perguruan Tinggi dilaksanakan pun tiba. Aku berangkat menuju tempat ujian selama hampir satu jam perjalanan. Ruangan yang akan aku tempati berada di gedung FISIPOL, terpisah dengan beberapa teman SMA-ku yang lain. Di ruang BU-201, di ruang itu ketika semua peserta ujian yang lain berharap diterima di universitas yang mereka inginkan, aku malah berharap aku tidak diterima di universitas, bahkan di jurusan yang sudah lama aku inginkan dan telah aku beri tanda dengan pensil di lembar jawabku.
Beberapa hari kemudian, tepatnya saat pengumuman hasil masuk Perguruan Tinggi, aku membuka hasilnya lewat internet. Dan ternyata apa yang aku inginkan benar-benar terjadi, aku tidak diterima. Di beberapa jejaring sosial yang kubuka bersamaan dengan melihat pengumuman itu, teman-temanku ramai membicarakan apakah mereka diterima atau tidak. Mereka yang tidak diterima di Perguruan Tinggi Negeri yang mereka inginkan, sepertinya merasakan kekecewaan yang sangat dalam. Aku memang tidak sendiri, ada banyak orang yang juga tidak diterima. Tapi entah, mengapa aku tak merasakan kaget, bahkan penyesalan. Layaknya ketika sudah tahu apa yang akan terjadi, maka akupun sudah siap untuk menerimanya, sama sekali tak kaget.
Akhirnya aku memutuskan untuk masuk di Perguruan Tinggi Swasta terbaik di kotaku waktu itu.  Aku memilih jurusan Pendidikan Bahasa Inggris sesuai  keinginan ayah, dan hanya itu jurusan yang aku pilih, aku tidak punya pilihan yang lain. Aku mendaftar tanpa test. Dan beberapa hari kemudian, aku melihat pengumumannya lewat internet. Aku diterima. Aku kemudian menghambur kearah ayah.
“Yah, aku diterima di Pendidikan Bahasa inggris. Tahukah ayah? Aku akan menjadi seorang guru, seperti yang ayah inginkan.”, kataku padanya. Ayah tersenyum. Sungguh, senyum ayah waktu itu seperti oase sejuk di tengah panasnya gurun, dan juga di tengah panasnya masalah yang sedang menimpa keluarga kami.
Suatu hari ayah pernah mengajakku berbicara. Hanya berdua, hanya aku dan ayah. Beliau menatapku sambil tersenyum.
“Tahukah kamu, Dek? Ayah bangga padamu. Dalam kesulitan keluarga kita kamu tak pernah menuntut apapun dari ayah.  Jadikan masalah keluarga kita untuk membuatmu belajar dan menjadi lebih dewasa. Kalau ayah datang ke sekolahmu, ayah selalu ingat padamu. Ayah kasihan sekaligus kagum padamu. Melihat orangtua teman-temanmu yang orang kaya, pasti teman-temanmu menjalani hidupnya dengan serba mudah. Sedangkan kamu menjalani masa-masa sulit bersama ayah. Kamu sekarang baru benar-benar ditempa, Sayang. Maafkan ayah yang belum bisa memberikan apa-apa yang kamu inginkan seperti yang orangtua teman-temanmu berikan pada teman-temanmu. Ayah kagum padamu karena sekalipun kita sedang dalam masa-masa sulit, kamu selalu tersenyum. Kamu memang telah menjadi wanita yang kuat, anakku.”
Aku tersenyum mendengar kata-kata ayah. Aku tak percaya akhirnya ayah mengatakan itu padaku.
                Aku boleh jadi masih sering sedih dan menangis karena untuk mempertahankan mimpiku sendiripun aku tak bisa, dan untuk mewujudkannya pun aku tak mampu. Tapi rasa cinta dan sayangku pada ayah mengalahkan segalanya. Seperti layaknya berberapa sobekan kertas yang kita pegang. Apabila, kita telah memutuskan untuk memegang satu kertas dan menjatuhkan kertas yang lain. Maka kita harus fokus pada kertas yang kita pegang dan meninggalkan kertas-ketas yang telah kita jatuhkan. Seperti itulah hidup, kita punya banyak pilihan. Ketika kita sudah memilih satu di antaranya, maka kita harus fokus pada apa yang kita pilih. Bukan berarti bahwa pilihan yang kita tinggalkan jelek, tapi kita telah menjatuhkan hidup kita pada pilihan yang terbaik. Jadi jangan biarkan pilihan yang lain mengganggu hidup kita.
                Seperti yang telah aku katakan sebelumnya, aku ingin hidup bahagia dan membahagiakan orang lain. Aku bisa saja memilih untuk bahagia, dengan tetap menggenggam mimpiku. Tapi aku hanya akan menjadi seorang anak yang egois karena aku hanya memikirkan keiginananku sendiri tanpa memikirkan kebahagiaan orangtuaku. Mungkin sekarang aku belum sepenuhnya bahagia dengan pilihanku, tapi setidaknya aku telah melakukan setengahnya, membahagiakan orangtuaku. Dan aku berharap Allah memberikan setengahnya lagi, kebahagiaanku sendiri sehingga kehidupanku akan menjadi bahagia seutuhnya.
Mungkin itu jugalah yang disebut pengorbanan ketika aku harus meninggalkan suatu kebaikan untuk kebaikan yang lain. Meninggalkan mimpiku untuk mimpiku yang lain, yang lebih mulia, yaitu membahagiakan kedua orangtuaku.
Di balik laki-laki yang sukses pasti ada wanita hebat di belakangnya. Apakah kalian pernah mendengar kata-kata itu? Aku juga punya kata-kata yang tak kalah keren dengan kata-kata tersebut. Di balik wanita yang hebat pasti ada laki-laki yang menghebatkanya dan membuatnya jadi lebih kuat. Tahukah kalian siapakah laki-laki hebat yang telah menguatkan hatiku?
Yaa… dia adalah ayahku. 
***
the end

1 comment:

  1. pengen nangis bacanya, keren abanget sumpah, maaf baru sempet baca sekarang.

    ReplyDelete