“Sedikit-sedikit nangis, sedikit-sedikit
nangis. Jangan jadi wanita yang cengeng. Jadilah wanita yang kuat.”
Kata-kata itu masih tergiang di
telingaku sampai sekarang. Kata-kata bernada tegas dari ayahku yang sering
sekali kudengar bertahun-tahun yang lalu. Yah, bertahun-tahun yang lalu ketika
aku ketika aku masih kecil. Sebagai seorang purnawirawan TNI, ayah memang mempunyai
suara yang keras. Beliau pun juga selalu mendidik seluruh penghuni rumah dengan
pembawaannya yang tegas. Yah, layaknya seperti ketika beliau sedang menghadapi
anak buahnya. Saat aku masih kecil ayah menjadi sosok yang sangat aku takuti.
Aku tak berani sedikit pun berucap ketika beliau memarahiku. Mungkin menasehati
lebih tepatnya, tetapi buat aku yang masih sangat kecil waktu itu, aku selalu
berpikiran bahwa ayah sedang marah. Aku hanya terdiam dan menunduk sambil
menahan airmataku supaya tidak menetes dihadapan beliau. Aku nggak mau melihat beliau tambah marah
dalam suasana yang tak mengenakan tersebut.
Aku masih ingat ketika harus mengendap-endap
masuk ke kamar ibu. Di pangkuannya aku menangis dan menumpahkan seluruh keluh
kesah, dan perasaanku. Lembut belaian tangan beliau seolah menguatkan pundakku
ketika teman-temanku memusuhiku. Pernah beberapa kali ketika aku sedang
menangis dan bercerita pada ibu, ayah melihatku. Kata-kata itu kembali terucap
dari mulutnya, “Jangan pernah jadikan tangisan sebagai senjatamu, meskipun kamu
seorang wanita. Jadilah wanita yang kuat.”
Sikap ayah yang keras padaku,
membuatku dulu sering berpikir apakah aku bukan anak kandung beliau.
Astaghfirullah… Maafkan aku ayah atas
pikiranku yang salah tentangmu. Ayah memang selalu tegas tak terkecuali pada
kakak-kakakku. Tapi mungkin karena aku anak terakhir, ayah jadi lebih over-protective.
Aku masih termenung di dekat
jendela kamar. Kembali memutar kisah-kisah berhargaku bersama ayah saat aku
masih kecil. Waktu begitu cepat berlalu, hingga sekarang usiaku mencapai tujuh
belas tahun. Dua tahun lalu, masalah mulai menghampiri keluargaku. Hal itu
berawal ketika orang dekat keluarga kami memakai sertifikat rumah dan semua
uang yang telah diinvestasikan ayah untuk membayar hutang-hutangnya, tanpa
sepengetahuan ayahku. Keluarga kami mulai mengalami kesulitan finansial karena
uang yang telah ayah simpan telah habis, termasuk uang yang telah dipersiapkan
ayah untuk kelanjutan studiku nanti, semuanya telah digasak habis orang tak
bertanggung jawab tersebut. Bahkan sepeda motorku, yang setiap hari kugunakan
untuk menempuh perjalanan sekitar 15 km untuk mendapatkan tetes demi tetes ilmu
di SMA ikut digunakannya untuk membayar hutang. Itu membuatku menghabiskan
waktu-waktu terakhirku di SMA dengan bus dan berjalan kaki beberapa kilometer
untuk sampai di rumah.
Bukan hanya itu saja, masalah
itu juga membuat keluarga besar kami terpecah. Salah satu anggota keluaraga
kami jadi memusuhi orangtuaku. Ayah menjadi sangat terpojok karena ulahnya yang
membuat semua orang percaya bahwa inti dari masalah keluargaku adalah ayah. Dia
selalu menyalahkan ayah. Tak jarang tetangga mengejek, menghujat, dan menjauhi
keluaraga kami. Pernah suatu kali aku di ejek oleh seorang tetangga, aku
menghadapinya dengan biasa saja. Tapi sepertinya ibuku mengetahuinya. Ibu menanyaiku setelah aku
sampai di rumah. Ibu sepertinya mulai sedih dengan keadaanku.
“Aku nggak papa
kok, Bu. Aku baik-baik saja. Aku juga nggak sakit hati kok dengan perkataan
mereka. Jadi ibu tenang saja.”, kataku berusaha menenangkan ibu agar tidak
kepikiran.
“Syukurlah…”,
katanya sedikit lega.
Semuanya menjadi semakin sulit ketika tiba saatnya kami kehilangan harta
terakhir kami yang paling berharga, rumah. Ketika itu aku masih belum tahu
tentang kabar tersebut, akulah satu-satunya anggota keluarga yang paling
terakhir tahu tentang hal ini.
Sore itu perasaanku tak enak dan
aku sudah tak bisa lagi mentolerir perasaan ingin tahuku. Kuhampiri kakakku,
duduk tenang disebelahnya, dan mencoba untuk kuat mengucapkan kekhawatiranku,
“Kak, sebenarnya apa yang terjadi dengan rumah kita?” kakak menatapku sebentar.
Kemudian dia berucap, “Dek, aku harap kamu tidak akan sedih dengan hal ini. Kakak
memberitahumu langsung supaya kamu nggak kaget ketika mendengarnya dari orang
lain.” Dia berhenti sebentar, kemudian menatapku lagi. “Rumah ini sudah bukan
milik kita lagi.” Aku sontak terkaget dengan pernyataan kakakku. “Apa ayah dan
ibu sudah tahu”, tanyaku cepat-cepat. Pikiran untuk tinggal dimana selanjutnya
menjadi nomor kesekian di benakku. Saat itu yang terpikir olehku adalah bagaimana dengan ayah dan ibuku? Apakah mereka
sudah tahu? Aku takut kalau ibu tak akan kuat menerima semua ini. Aku takut
kalau ibu jatuh sakit lagi.
Aku masih ingat
ketika aku masih kelas 11 SMA, ibu jatuh sakit dan di opname selama hampir satu minggu karena daya tahan tubuhnya
menurun. Dokter mengatakan ibu terlalu banyak pikiran. Ibuku memang sering
jatuh sakit ketika menghadapi masalah, daya tahan tubuhnya lemah.
“Mereka sudah
tahu, Dek.”, kata kakakku lirih.
Ayah sangat sedih dengan masalah
yang menimpa keluaraga kami. Ayahku yang dulu tegas, kini berubah menjadi sosok
yang amat menyedihkan di mataku. Masalah ini membuatku untuk pertama kalinya
selama 18 tahun aku hidup di dunia, melihat ayahku meneteskan air matanya.
Hatiku sungguh hancur ketika melihat ayahku menangis. Aku tak percaya ketika
melihat sosok ayah yang tegas meneteskan air matanya di depan mataku. Akupun
tak kuasa lagi membendung air mataku. Aku ikut larut dalam kesedihan ayah.
***
to be continued
No comments:
Post a Comment