Sunday, May 27, 2012

Anakku, jadilah wanita yang kuat #1



“Sedikit-sedikit nangis, sedikit-sedikit nangis. Jangan jadi wanita yang cengeng. Jadilah wanita yang kuat.”
                Kata-kata itu masih tergiang di telingaku sampai sekarang. Kata-kata bernada tegas dari ayahku yang sering sekali kudengar bertahun-tahun yang lalu. Yah, bertahun-tahun yang lalu ketika aku ketika aku masih kecil. Sebagai seorang purnawirawan TNI, ayah memang mempunyai suara yang keras. Beliau pun juga selalu mendidik seluruh penghuni rumah dengan pembawaannya yang tegas. Yah, layaknya seperti ketika beliau sedang menghadapi anak buahnya. Saat aku masih kecil ayah menjadi sosok yang sangat aku takuti. Aku tak berani sedikit pun berucap ketika beliau memarahiku. Mungkin menasehati lebih tepatnya, tetapi buat aku yang masih sangat kecil waktu itu, aku selalu berpikiran bahwa ayah sedang marah. Aku hanya terdiam dan menunduk sambil menahan airmataku supaya tidak menetes dihadapan beliau.  Aku nggak mau melihat beliau tambah marah dalam suasana yang tak mengenakan tersebut.
                Aku masih ingat ketika harus mengendap-endap masuk ke kamar ibu. Di pangkuannya aku menangis dan menumpahkan seluruh keluh kesah, dan perasaanku. Lembut belaian tangan beliau seolah menguatkan pundakku ketika teman-temanku memusuhiku. Pernah beberapa kali ketika aku sedang menangis dan bercerita pada ibu, ayah melihatku. Kata-kata itu kembali terucap dari mulutnya, “Jangan pernah jadikan tangisan sebagai senjatamu, meskipun kamu seorang wanita. Jadilah wanita yang kuat.”
                Sikap ayah yang keras padaku, membuatku dulu sering berpikir apakah aku bukan anak kandung beliau. Astaghfirullah…  Maafkan aku ayah atas pikiranku yang salah tentangmu. Ayah memang selalu tegas tak terkecuali pada kakak-kakakku. Tapi mungkin karena aku anak terakhir, ayah jadi lebih over-protective.
                Aku masih termenung di dekat jendela kamar. Kembali memutar kisah-kisah berhargaku bersama ayah saat aku masih kecil. Waktu begitu cepat berlalu, hingga sekarang usiaku mencapai tujuh belas tahun. Dua tahun lalu, masalah mulai menghampiri keluargaku. Hal itu berawal ketika orang dekat keluarga kami memakai sertifikat rumah dan semua uang yang telah diinvestasikan ayah untuk membayar hutang-hutangnya, tanpa sepengetahuan ayahku. Keluarga kami mulai mengalami kesulitan finansial karena uang yang telah ayah simpan telah habis, termasuk uang yang telah dipersiapkan ayah untuk kelanjutan studiku nanti, semuanya telah digasak habis orang tak bertanggung jawab tersebut. Bahkan sepeda motorku, yang setiap hari kugunakan untuk menempuh perjalanan sekitar 15 km untuk mendapatkan tetes demi tetes ilmu di SMA ikut digunakannya untuk membayar hutang. Itu membuatku menghabiskan waktu-waktu terakhirku di SMA dengan bus dan berjalan kaki beberapa kilometer untuk sampai di rumah. 
                Bukan hanya itu saja, masalah itu juga membuat keluarga besar kami terpecah. Salah satu anggota keluaraga kami jadi memusuhi orangtuaku. Ayah menjadi sangat terpojok karena ulahnya yang membuat semua orang percaya bahwa inti dari masalah keluargaku adalah ayah. Dia selalu menyalahkan ayah. Tak jarang tetangga mengejek, menghujat, dan menjauhi keluaraga kami. Pernah suatu kali aku di ejek oleh seorang tetangga, aku menghadapinya dengan biasa saja. Tapi sepertinya ibuku  mengetahuinya. Ibu menanyaiku setelah aku sampai di rumah. Ibu sepertinya mulai sedih dengan keadaanku.
“Aku nggak papa kok, Bu. Aku baik-baik saja. Aku juga nggak sakit hati kok dengan perkataan mereka. Jadi ibu tenang saja.”, kataku berusaha menenangkan ibu agar tidak kepikiran.
“Syukurlah…”, katanya sedikit lega.
Semuanya menjadi semakin sulit ketika tiba saatnya kami kehilangan harta terakhir kami yang paling berharga, rumah. Ketika itu aku masih belum tahu tentang kabar tersebut, akulah satu-satunya anggota keluarga yang paling terakhir tahu tentang hal ini.
                Sore itu perasaanku tak enak dan aku sudah tak bisa lagi mentolerir perasaan ingin tahuku. Kuhampiri kakakku, duduk tenang disebelahnya, dan mencoba untuk kuat mengucapkan kekhawatiranku, “Kak, sebenarnya apa yang terjadi dengan rumah kita?” kakak menatapku sebentar. Kemudian dia berucap, “Dek, aku harap kamu tidak akan sedih dengan hal ini. Kakak memberitahumu langsung supaya kamu nggak kaget ketika mendengarnya dari orang lain.” Dia berhenti sebentar, kemudian menatapku lagi. “Rumah ini sudah bukan milik kita lagi.” Aku sontak terkaget dengan pernyataan kakakku. “Apa ayah dan ibu sudah tahu”, tanyaku cepat-cepat. Pikiran untuk tinggal dimana selanjutnya menjadi nomor kesekian di benakku. Saat itu yang terpikir olehku adalah bagaimana dengan ayah dan ibuku? Apakah mereka sudah tahu? Aku takut kalau ibu tak akan kuat menerima semua ini. Aku takut kalau ibu jatuh sakit lagi.
Aku masih ingat ketika aku masih kelas 11 SMA, ibu jatuh sakit dan di opname selama hampir satu minggu karena daya tahan tubuhnya menurun. Dokter mengatakan ibu terlalu banyak pikiran. Ibuku memang sering jatuh sakit ketika menghadapi masalah, daya tahan tubuhnya lemah.
“Mereka sudah tahu, Dek.”, kata kakakku lirih.
                Ayah sangat sedih dengan masalah yang menimpa keluaraga kami. Ayahku yang dulu tegas, kini berubah menjadi sosok yang amat menyedihkan di mataku. Masalah ini membuatku untuk pertama kalinya selama 18 tahun aku hidup di dunia, melihat ayahku meneteskan air matanya. Hatiku sungguh hancur ketika melihat ayahku menangis. Aku tak percaya ketika melihat sosok ayah yang tegas meneteskan air matanya di depan mataku. Akupun tak kuasa lagi membendung air mataku. Aku ikut larut dalam kesedihan ayah.
***
to be continued

No comments:

Post a Comment