Sunday, May 27, 2012

Anakku, jadilah wanita yang kuat #2



Suatu sore, aku sedang duduk bersama ibu di dapur. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Ibu bergegas menuju ruang tamu. Siapakah itu? Apakah itu orang Bank yang akan mengambil rumahku?
Ibu dan orang itu hanya bicara di teras rumah. Aku mendekat di balik dinding garasi rumah, mencoba menangkap setiap kata yang keluar dari mulut mereka. Benar, dugaanku memang benar. Dia adalah orang dari bank. Dia memberi tahu ibu batas terakhir kapan rumah kita harus bisa dijual. Jika tidak maka bank sendiri yang akan melelang rumahku. Konsekuensi jika bank itu yang langsung melelang rumah kami maka rumah kami akan terjual dengan harga yang murah. Sedangkan aku tahu ayah dan ibu belum menemukan pembeli rumah kami. Pikiranku langsung melayang, sayup-sayup pembicaraan mereka mulai kabur dalam pendengaranku. Aku seperti terjun ke medan perang melihat bagaimana ayahku berperang membela Negara, mengumpulkan rupiah untuk membangun rumah itu. Sejenak kemudian aku seperti berada di ruang keluarga rumah kami, bersama dengan kakak-kakakku menghabiskan waktu bersama. Rumah itu terlalu banyak menyimpan cerita indah keluarga kami, aku belum siap untuk melepasnya. Perlahan dengan pasti airmata mulai keluar dari kedua mataku, makin lama makin deras… deras sekali. Sejenak kemudian kutemui diriku sedang menangis di balik dinding garasi. Kudengar suara motor orang itu telah menjauhi rumah kami, itu tandanya berarti dia telah pergi. Ibu bergegas menghampiriku, sepertinya ibu mendengarku menangis.
“Ada apa?” tanyanya. “Ada apa dengan kakakmu? Apa ada yang memukulinya ?”
Ibu mengira aku menangis karena aku mendapat kiriman SMS dari kakak yang mengatakan bahwa kakak dipukuli orang suruhan bank di jalan. Ibu sangat mengkhawatirkan kakak karena sampai sesore ini dia belum pulang.
“Bukan, Bu.”
“Apakah kamu menangis karena akan kehilangan rumah kita?”
“Iyaa..”, kataku terisak.
“Sabarlah, Sayang! Ini memang berat buat kita, tapi Ibu yakin suatu saat nanti kita akan mendapat ganti yang lebih baik, berlipat-lipat lebih baik.”
Beliau mencoba menenangkanku. Berusaha untuk tegar dan kuat itulah yang dilakukan ibu di hadapanku meskipun sebenarnya aku juga menangkap kebingungan di wajahnya, bingung harus tinggal dimanakah kita setelah ini.
                Kuhapus airmataku kucoba untuk menguatkan hatiku menerima semua ini. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa itu akan menjadi tangisan terakhirku untuk melepaskan rumahku. Aku takkan pernah sedih lagi hanya karena harus kehilangan rumah. Waktu ku terlalu sayang untuk kulalui hanya dengan menangisi kehilangannya. Aku masih punya sesuatu lebih berharga, keluarga. Cinta dan sayang mereka akan selalu menjadi rumah yang takkan pernah meninggalkanku.
***
to be continued

No comments:

Post a Comment