Suatu sore, aku sedang duduk bersama ibu di dapur. Tiba-tiba terdengar
suara ketukan pintu. Ibu bergegas menuju ruang tamu. Siapakah itu? Apakah itu orang Bank yang akan mengambil rumahku?
Ibu dan orang itu hanya bicara di teras rumah. Aku mendekat di balik
dinding garasi rumah, mencoba menangkap setiap kata yang keluar dari mulut
mereka. Benar, dugaanku memang benar. Dia adalah orang dari bank. Dia memberi
tahu ibu batas terakhir kapan rumah kita harus bisa dijual. Jika tidak maka
bank sendiri yang akan melelang rumahku. Konsekuensi jika bank itu yang
langsung melelang rumah kami maka rumah kami akan terjual dengan harga yang
murah. Sedangkan aku tahu ayah dan ibu belum menemukan pembeli rumah kami. Pikiranku
langsung melayang, sayup-sayup pembicaraan mereka mulai kabur dalam
pendengaranku. Aku seperti terjun ke medan perang melihat bagaimana ayahku
berperang membela Negara, mengumpulkan rupiah untuk membangun rumah itu. Sejenak
kemudian aku seperti berada di ruang keluarga rumah kami, bersama dengan
kakak-kakakku menghabiskan waktu bersama. Rumah itu terlalu banyak menyimpan
cerita indah keluarga kami, aku belum siap untuk melepasnya. Perlahan dengan
pasti airmata mulai keluar dari kedua mataku, makin lama makin deras… deras
sekali. Sejenak kemudian kutemui diriku sedang menangis di balik dinding
garasi. Kudengar suara motor orang itu telah menjauhi rumah kami, itu tandanya
berarti dia telah pergi. Ibu bergegas menghampiriku, sepertinya ibu mendengarku
menangis.
“Ada apa?”
tanyanya. “Ada apa dengan kakakmu? Apa ada yang memukulinya ?”
Ibu mengira aku menangis
karena aku mendapat kiriman SMS dari kakak yang mengatakan bahwa kakak dipukuli
orang suruhan bank di jalan. Ibu sangat mengkhawatirkan kakak karena sampai
sesore ini dia belum pulang.
“Bukan, Bu.”
“Apakah kamu
menangis karena akan kehilangan rumah kita?”
“Iyaa..”, kataku
terisak.
“Sabarlah, Sayang!
Ini memang berat buat kita, tapi Ibu yakin suatu saat nanti kita akan mendapat
ganti yang lebih baik, berlipat-lipat lebih baik.”
Beliau mencoba
menenangkanku. Berusaha untuk tegar dan kuat itulah yang dilakukan ibu di
hadapanku meskipun sebenarnya aku juga menangkap kebingungan di wajahnya,
bingung harus tinggal dimanakah kita setelah ini.
Kuhapus airmataku kucoba untuk
menguatkan hatiku menerima semua ini. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa
itu akan menjadi tangisan terakhirku untuk melepaskan rumahku. Aku takkan
pernah sedih lagi hanya karena harus kehilangan rumah. Waktu ku terlalu sayang
untuk kulalui hanya dengan menangisi kehilangannya. Aku masih punya sesuatu
lebih berharga, keluarga. Cinta dan sayang mereka akan selalu menjadi rumah
yang takkan pernah meninggalkanku.
***
to be continued
No comments:
Post a Comment